KONSERVASI ARSITEKTUR
oleh :
CHAERUL IQBAL
22314305
4TB07
UNIVERSITAS GUNADARMA
FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN
PERENCANAAN
2018
SEJARAH KAMPUNG
BATIK LAWEYAN
Kampung Batik Laweyan terletak di sisi
selatan Kota Solo, Jawa Tengah, berbatasan dengan Kabupaten Sukoharjo. Kampung
ini istimewa bukan semata-mata karena merupakan kampung tua yang eksotis, tapi
juga karena menyimpan jejak panjang industri batik di Solo. Pada awal abad
ke-20, Kampung Batik Laweyan pernah mengalami masa kejayaan sebagai kampung
saudagar batik pribumi.
Di
kawasan Laweyan pula berdiri Syarekat Dagang Islam, asosiasi dagang pertama
yang didirikan oleh tokoh pejuang kemerdekaan, Samanhudi, bersama para saudagar
batik pribumi, tahun 1912. Masa tahun 1900 sampai 1970 adalah masa kejayaan
para saudagar (pengusaha) batik pribumi Laweyan.
Kejayaan Laweyan sebagai kampung batik bisa
dilihat dari bermacam-macam motif batik yang kemudian dikenal sebagai motif
batik Solo, seperti Parang Kusumo, Parang
Kembang, Parang Rusak, Parang Barong, Truntum, Srikaton, Satrio Manah, Wahyu Jati, dan
Tejo Kusumo.
Namun, masa keemasan industri batik Laweyan terhempas
dengan masuknya teknologi batik printing dari China sekitar tahun 1970.
Berbeda dengan batik cap dan batik tulis, tekonologi
printing berorientasi pada produksi massal. Lewat teknologi ini, ratusan kodi
kain batik bisa diproduksi setiap hari. Di sisi lain, batik cap hanya bisa
dibuat sebanyak 20 kodi sampai 30 kodi sehari. Batik tulis lebih celaka lagi
karena membutuhkan waktu 2 bulan sampai empat bulan untuk menyelesaikan
selembar kain batik.
Akibat serbuan batik printing, menurut Alpha, selama
hampir 30 tahun Laweyan tak ubahnya kampung mati. Periode tahun 1970 sampai
tahun 2000 hampir tak ada kegiatan membatik di kampung tua ini.
Alhasil, selama hampir 30 tahun pula kampung Laweyan
hanya menyisakan masa kejayaan para saudagar batik pribumi tempo dulu;
lorong-lorong sempit dengan tembok tinggi yang kusam, rumah-rumah tua
tradisional gaya Jawa, Eropa (Indisch), China dan Islam. Uniknya, banyak rumah
yang dilengkapi bunker (lorong bawah tanah) yang saling menyambung dengan rumah
tetangga.
Menelusuri lorong-lorong sempit di antara tembok tinggi
seperti berjalan di antara monumen sejarah kejayaan pedagang batik tempo dulu.
Sampai akhirnya, memori kejayaan kampung Laweyan tempo dulu mengusik sebagian
kecil kalangan muda Laweyan untuk membangkitkan kembali masa keemasan itu
dengan konsep pariwisata. Dengan konsep ini, Kampung Batik Laweyan tak hanya
menawarkan batik namun juga wisata heritage.
Selain memiliki sejarah sebagai kota batik tertua, gaya
arsitektur kampung batik juga menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan.
Dinding tinggi dan gang-gang sempit menjadi karakter khas kampung batik ini.
Bangunan rumah pedagang batik Laweyan banyak dipengaruhi oleh arsitektur Jawa,
Eropa, Cina dan Islam. Bangunan mewah ini menjadi ciri kejayaan saudagar batik
asli pribumi Laweyan pada masa itu dan dikenal dengan sebutan “Gal Gendhu”.
KONSERVASI
TERHADAP BANGUNAN KP. BATIK LAWEYAN
Seorang pengusaha batik di Laweyan, Muhammad Gunawan
Nizar, menuturkan bagaimana dirinya dan beberapa pengusaha mengagunkan
sertifikat rumah ke bank agar mendapatkan dana untuk memulai produksi batik.
Dengan dana pinjaman, mereka memperbaiki beberapa peralatan produksi batik agar
bisa digunakan kembali, menyulap ruang depan rumah menjadi gerai, dan tentu
saja untuk membayar upah para pekerja.
Bentuk respon itu adalah dengan melakukan konservasi
terhadap 30 rumah kuno yang memiliki nilai sejarah dalam perkembangan batik di
Laweyan untuk mendukung pengembangan wisata heritage di kampung ini.
Kementerian Negara Perumahan Rakyat pun mengucurkan dana sekitar Rp 600 juta
untuk proses konservasi. Pemkot Surakarta bahkan menggelontorkan dana Rp200
miliar untuk penataan lingkungan Kampung Batik Laweyan.
Tahun 2004, Laweyan pun dicanangkan sebagai kampung batik
oleh Pemerintah Kota Surakarta. Payung hukum pun diberikan terhadap karya cipta
batik. Saat ini sebanyak 215 motif batik dari Kampung Batik Laweyan sudah
dipatenkan.
Kini, suasana Kampung Batik Laweyan sangat berbeda dengan suasana pada delapan tahun lalu. Dari 8 pengusaha batik yang tersisa pada tahun 2004, kini sebanyak 90 kepala keluarga dari 110 kepala keluarga di kampung Laweyan adalah pengusaha batik. Sedangkan 20 kepala keluarga lainnya bekerja sebagai buruh batik (pembatik), baik batik cap, printing, maupun batik tulis.
Kini, suasana Kampung Batik Laweyan sangat berbeda dengan suasana pada delapan tahun lalu. Dari 8 pengusaha batik yang tersisa pada tahun 2004, kini sebanyak 90 kepala keluarga dari 110 kepala keluarga di kampung Laweyan adalah pengusaha batik. Sedangkan 20 kepala keluarga lainnya bekerja sebagai buruh batik (pembatik), baik batik cap, printing, maupun batik tulis.
KP. BATIK LAWEYAN MODERN
Saat ini Kampung Laweyan
menjadi destinasi wisata yang wajib dikunjungi saat berkunjung ke Solo.
Tentunya selain belajar sejarah, di Laweyan pengunjung juga dapat belajar
mengenai budaya dan kreativitas yang disuguhkan oleh para pengrajin. Alpha
menjadikan Batik Mahkota Laweyan, yang merupakan kediaman, showroom,
sekaligus bengkel batik menjadi lokasi kompilit bagi wisatawan untuk
mempelajari batik. Tak sedikit wisatawan asing yang berkunjung ke tempatnya.
Kampung Laweyan hingga
saat ini masih terus bersolek untuk memikat para wisatawan. Di dinding yang
menjulang tinggi itu, Aplha bermimpi akan adanya pengisahan mengenai Kampung
Laweyan. Sehingga wisatawan dapat semakin betah berada di sudut terbaik Solo,
Kampung Laweyan yang kaya cerita.
Kampung Batik
Laweyan: Harmonisasi Modernitas Dan Masa Lalu merupakan sebuah
tempat wisata terpadu yang harmonis dan merupakan perpaduan kehidpan masa lalu
yang terbalut beragam kenikan dan misteri dari sebuah nilai seni budaya
tradisional batik Solo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar